keistimewaan kampus sebagai suatu institusi adalah sifatnya yang independen, netral, dan inovatif serta kritis terhadap segala bentuk aksi politik kekuasaan dan ketidakberesan sosial yang terjadi di masyarakat.
Seluruh insan kampus seperti dosen dan mahasiswa berhak memperoleh ruang dan kebebasan untuk mengembangkan, mengaplikasikan ilmu pengetahuan serta mengabdikan diri untuk kepentingan rakyat supaya tidak ditindas oleh rezim kekuasaan
Selain itu, dominasi kekuasaan apalagi penjajahan tidak memiliki tempat di lingkungan kampus.
Terlebih lagi jika itu dilakukan oleh mereka yang memiliki posisi jabatan tertentu karena pada dasarnya jabatan itu hanya sebatas beban kerja tambahan yang tidak semestinya digunakan melakukan dominasi atau penyalahgunaan kekuasaan.
Baca juga:
Tony Rosyid: Kudeta Airlangga, Berhasilkah?
|
Misalnya, sekalipun seorang rektor, ia tidak berhak untuk bersikap otoriter terutama dalam membuat kebijakan/peraturan, terlebih lagi menerapkan sikap kepemimpinan berbasis style 'komando' yang berpotensi pada menguatnya feodalisme dan penyeragaman pola pikir yang menekan daya kritis, kreativitas, dan inovasi.
Dalam cacatan sejarah bangsa, kelompok intelektual memiliki peran penting. Di era kolonial, semangat untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan yang menyengsarakan rakyat lahir dari semangat nasionalisme dan anti-penjajahan para intelektual muda pada masa itu.
Baca juga:
Pancasila Dalam Era Digital
|
Lagi-lagi pada tahun 1998, mahasiswa dan kelompok intelektual kampus menjadi garda terdepan yang berjuang keras menentang dan menggulingkan pemerintahan Orde Baru yang Otoriter, dan represif.
Kejatuhan rezim Orde Baru ini tentunya tidak dapat dilepaskan dari kesadaran kolektif kelompok intelektual yang melakukan berbagai kajian ilmiah kritis untuk membongkar tindakan korup pemerintah pada masa itu kepada publik
Bahkan di era reformasi saat ini yang ditandai dengan kebebasan berpendapat, kelompok intelektual kampus juga terus berperan aktif mengkritik keras kebijakan-kebijakan pemerintah yang dinilai tidak berpihak kepada rakyat.
Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab segenap civitas akademika untuk memastikan bahwa kampus adalah ruang yang harus bebas dari kepentingan politik-kekuasaan.
Baca juga:
Alex Wibisono: Demokrasi Kentut
|
Sudahkah kampus bebas kepentingan politik?
Meskipun begitu, memastikan kampus bersih dari unsur kepentingan politik-kekuasaan memang bukan pekerjaan mudah. Belum lagi sekelumit ‘dosa’ besar yang masih menghantui dunia pendidikan kita saat ini
Kemudian penghapusan kewenangan untuk memberi masukan terhadap rektor terkait Rencana Strategis, Rencana Akademik,
Rencana Program Jangka Panjang, dan kewajiban Perguruan Tinggi untuk mengalokasikan dana bagi mahasiswa yang tidak mampu. kepentingan politik dan menduga ada campur tangan dari pihak pemerintah "dibagi tiga Kelompok"
Pertama"orang-orang di luar Perguruan Tinggi yang membutuhkan sumber daya" infrastruktur" serta sosial kapital untuk konsolidasi menuju kekuasaan.
Kedua"mereka yang berada di Perguruan Tinggi "namun tidak bertujuan mengabdi secara permanen dan memanfaatkan Perguruan Tinggi sebagai ‘batu loncatan’ untuk meraih ambisi politik.
Ketiga: mereka yang tinggal permanen di Perguruan Tinggi yang hanya gemar mencari keuntungan pribadi
Artinya mengembalikan kampus sebagai ruang yang steril dari kepentingan politik akan menjadi ‘pekerjaan rumah’ kedepannya.
Regulasi institusi cerminan rezim
Kekuasaan memang sangat membuai manusia karena pada dasarnya " manusia tidak dapat dipisahkan dari kekuasaan karena keinginan untuk berkuasa ada pada tiap individu.
berkaca pada hal ini, siapapun bisa berpotensi meraih kekuasaan dengan jalan apapun, "baik’ atau ‘buruk"
Statuta merujuk pada anggaran dasar atau regulasi suatu organisasi seperti perguruan tinggi
Sedangkan di dalam Permendikbud RI No.139 Pasal 1 tahun 2014 tentang Pedoman Statuta dan Organisasi Perguruan Tinggi disebutkan bahwa statuta adalah peraturan dasar pengelolahan suatu perguruan tinggi yang digunakan sebagai landasan penyusunan peraturan dan prosedur operasional di perguruan tinggi "
Statuta disusun dengan melibatkan organ-organ penting di perguruan tinggi seperti , disesuaikan dengan kebutuhan dan pengembangan perguruan tinggi terutama terkait dengan penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi.
Mencermati definisi dan fungsi dari statuta di atas, bukan tidak mungkin terdapat celah bagi sekelompok orang yang memiliki porsi kekuasaan untuk menyusun butir-butir statuta yang disesuaikan dengan kepentingan mereka.
politik perebutan dan dominasi kekuasaan di kampus sangat mungkin bisa terjadi dan demokrasi yang seharusnya menjadi prinsip utama dalam pengambilan keputusan di lingkungan kampus juga bisa saja dimanipulasi.
PP No. 75 Tahun 2021 tentang Statuta Perguruan Tinggi adalah salah satu contoh nyata dari penyimpangan prosedur dan cacat materiil-formil dalam penyusunan statuta perguruan tinggi yang sarat dengan kepentingan politis sekelompok orang tertentu
Prinsip demokrasi yang dimaksud di sini adalah dalam penyusuan statuta aspirasi dan suara sivitas akademika tidak boleh dinihilkan.
Mereka yang terlibat dalam penyusunan statuta harus memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat dan kritik jika terjadi ketidaksesuaian.
Keputusan penetapan statuta harus melalui kajian yang logis serta dilakukan berdasarkan keputusan bersama bukan kelompok.
Mengapa demikian? Hal ini dikarenakan statuta adalah ‘roh’ dari perguruan tinggi. Jika dalam penyusunannya saja sudah ‘cacat’ demokrasi, maka bukan tidak mungkin perguruan tinggi hanya akan menjadi ‘korporasi’ yang disetir oleh segelintir orang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri dan bukan tidak mungkin KKN akan tumbuh ‘subur"
Oleh karena itu, adalah tugas dari seluruh sivitas akademika untuk menjadikan kampus sebagai ‘kekuatan’ yang mandiri, kritis, dan bebas dari berbagai kepentingan politik-ekonomi supaya tidak dikuasai sekelompok orang yang hanya mementingkan pihak tertentu."